Kenitu - Manecu (Chrysophyllum Cainito)



Kalau lagi musimnya, buah kenitu paling gampang kita temui di sepanjang jalan Kali Bondoyudo antara Jatiroto, Lumajang, hingga Batu Urip, Kecamatan Sumber Baru, Jember. Biasanya, penjual buah kenitu berderet dengan jarak tidak lebih dari 7-8 meter. Buahnya biasa ditata bertumpuk dalam 1 baskom besar yang memuat 10-15 buah. Harganya relatif murah dan masih bisa ditawar.

Waktu saya kecil, saya mengira buah kenitu hanya ada di Desa Wotgaleh, Kecamatan Yosowilangun. Dulu setiap kali liburan ke Lumajang, saya memang tidak pernah melewatkan kunjungan ke kampung leluhur di Wotgaleh. Dan hanya di sana saya bisa menemukan buah kenitu. Masyarakat Wotgaleh menyebutnya buah manecu. Sayang, sekarang pohon-pohon kenitu itu sudah tidak ada. Saya justru banyak menemukannya di sekitar Yosorati-Sadengan, Kecamatan Sumber Baru, Jember. Ya, ada yang mengatakan bahwa buah ini termasuk langka dan hanya banyak ditemui di sekitar Jember, Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo.

Bisa jadi benar, tapi bisa jadi tidak. Sebab, selidik punya selidik, ternyata buah kenitu memiliki banyak sebutan. Ada yang menyebutnya sawo apel, sawo manila, sawo beludru, sawo ijo, sawo hejo, sawo kadu, sawo duren, apel jawa atau genitu. Secara umum, buah ini dideskripsikan bulat, mengkilat, warnanya ada yang hijau kemerahan, ada juga yang hijau keunguan, dagingnya putih, berbiji hitam seperti biji sawo, manis, banyak kandungan air, kalau dikupas daging buahnya yang tua berwarna putih kemerahan atau putih keunguan, serta bergetah.

Eksiklopedia Wikipedia menjelaskan bahwa buah ini ternyata berasal dari dataran rendah Amerika Tengah dan Hindia Barat. Buah ini kemudian menyebar ke seluruh daerah tropis. Di Asia Tenggara, kenitu banyak ditanam di Filipina, Thailand dan Indocina bagian selatan. Dalam bahasa asing, buah ini pun dikenal dengan berbagai nama seperti cainito, caimito, chicle durian, star apple, golden leaf tree, abiaba, pomme de lait, estrella atau aguay. Namun yang jelas, nama ilmiahnya adalah Chrysophyllum cainito L.

Jika disimak, pohon kenitu ternyata mengandung banyak manfaat. Kayunya cukup baik sebagai bahan bangunan. Cabangnya yang tua dapat dimanfaatkan sebagai media tanaman anggrek. Pohonnya dapat menjadi tanaman hias dan peneduh di tepi jalan. Buahnya dapat dikonsumsi sebagai buah segar atau menjadi bahan baku es krim atau serbat. Konon, banyak bagian pohonnya yang juga berkhasiat obat. Rebusan daunnya dapat dipakai untuk menyembuhkan diabetes dan rematik. Kulit kayunya dapat digunakan sebagai obat kuat dan obat batuk. Infus daun yang kaya akan tanin dipercaya oleh sebagian masyarakat sebagai obat kanker. Buah yang sudah masak dapat digunakan sebagai anti inflamasi pada keadaan laringitis dan pneumonia serta pengobatan diabetes melitus.

Namun demikian, kenitu memang bukanlah buah yang dikomersilkan secara luas. Keberadaannya tidak begitu dihargai setinggi buah lainnya yang harganya bisa melesat, bahkan bisa masuk pasar ritel modern. Namun siapa sangka jika kenitu mengandung antioksidan alami. Sebuah studi menunjukkan bahwa kenitu memiliki kadar antioksidan yang cukup tinggi. Buah ini bermanfaat bagi pengobatan berbagai penyakit yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan radikal bebas.

Bagi dunia kesehatan, istilah antioksidan mungkin sudah sangat familiar. Bagi perempuan, istilah ini juga tidak begitu asing lantaran banyaknya produk kecantikan yang kini kerap menggunakan embel-embel “mengandung antioksidan”. Produk-produk tersebut membangun imej bahwa produk mereka dapat membuat penggunanya terlihat awet muda.

Senyawa antioksidan memang memiliki peran penting dalam kesehatan karena mampu menangkap radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbit luarnya sehingga dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh. Radikal bebas dapat mengoksidasi asam nukleat, protein, lemak, bahkan DNA sel, dan menginisiasi timbulnya penyakit degeneratif. Senyawa antioksidan dari tumbuhan seperti vitamin C, vitamin E, asam fenol, polifenol, flavonoid, dan karoten diketahui berpotensi mengurangi resiko penyakit degeneratif dan penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung koroner.

Pertanyaannya sekarang, mengapa ya tidak banyak yang menanam pohon kenitu? Mengapa buah ini tidak termasuk buah komersil? Saya punya 2 hipotesis. Pertama, pohon kenitu mungkin tidak ekonomis. Selain karena pohon ini baru menghasilkan buah setelah berumur 5-6 tahun, buah kenitu juga kurang dikenal secara luas dan nilai jualnya cenderung rendah. Kedua, pohon kenitu memang tanaman langka sehingga tidak tumbuh di banyak tempat dan buahnya tidak begitu produktif.

Tentu butuh riset tersendiri untuk bisa membuktikan hipotesis tersebut. Namun upaya yang bisa kita lakukan dalam jangka pendek untuk mengembangkan kenitu adalah menyelamatkan tanaman ini dengan memperbanyak bibit dan membagikannya secara cuma-cuma pada masyarakat. Dengan cara ini diharapkan pohon kenitu semakin banyak, buahnya makin dikenal, dan khasiat buahnya sebagai antioksidan alami dapat menarik minat masyarakat.

Dalam jangka menengah, kita berharap dapat membangun brand kenitu sebagai buah lokal khas Lumajang, Jember, Bondowoso atau Situbondo yang memiliki banyak khasiat. Dan dalam jangka panjang, kita berharap dapat membangun standar mutu agar kenitu kompetitif.

Dengan demikian, kalau kita butuh antioksidan alami tinggi, tidak perlu mahal-mahal mencari buah impor. Kalau mau memberi oleh-oleh buah khas lokal, tidak perlu bingung-bingung mencari ke pasar. Cukuplah memetik kenitu, buah berharga di sekitar kita yang kerap dipandang sebelah mata. Wallahu’alam bishowab. (Sumber)

Wê-Zëd

"Jam ± 05.00 – 05.30 bangun pagi lalu (biasanya lanjut kegiatan MCK, baru->) sholat shubuh, Jam ± 07.15 – 07.20 waktu berangkat ke kantor, Jam ± 12.15 – 13.30 ISHOMA (Istirahat, Sholat Dzuhur, Makan), Jam ± 15.30 (Sholat Ashar di kantor bila memungkinkan), Jam ± 16.00 – 17.00 (pulang ke rumah lanjut ISHOMA), Jam ± 17.45 – 18.30 (kegitan MCK, lanjut) Sholat Maghrib, selanjutnya santai nonton TV sambil ngemil atau makan lagi, Jam ± 19.30 – 20.00 Sholat Isya’, menyambung nonton TV dan lainnya, sekitar Jam ± 22.00 – 23.30 merebahkan diri untuk tidur dan melanjutkan kehidupan hari berikutnya."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak