Menghapus Trauma dengan Menulis

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgw4gd_z63bLfQ81d26M6fxajhADUgWvzWc7lOlh06vi1OzzYc30GnnD10gFXRZE4wDp5ttRTmNVzKVkvMWizD0zL-qLy_3qQUePz5dsqyLlI1qIllN37SgdG59VG1g5xDf7mHXnzMcmK2x/s1600/218321_0_kursus_menulis_writing_course.jpg

Apakah Anda memiliki kebiasaan menulis buku harian? Jika ya, teruskanlah! Menulis, khususnya hal-hal yang menakutkan atau membuat trauma, ternyata berdampak positif terhadap kesehatan fisik dan mental. Hal ini dikemukakan oleh James Pennebaker Ph.D., seorang profesor psikologi dari Universitas Texas.

Pengalaman John Mulligan

Sebagai seoran veteran perang Vietnam, Mulligan kenyang dengan pengalaman pahit. Enam tahun lalu ia seperti orang yang hilang akal, hanya berkeliaran tanpa tujuan di San Fransisco. Bahkan teman-temannya sesama veteran Vietnam melampiaskan dendam secara serabutan. Hewan ditembaki hanya sebagai kesenangan.

Untungnya Mulligan tertarik mengikuti pelatihan menulis bagi veteran yang dipimpin oleh penulis terkenal: Maxine Hong Kingston. Di awal pelatihan Mulligan menulis pengalamannya yang mengerikan selama perang. Selanjutnya ia semakin yakin bahwa pengungkapan rasa takut dan cemas melalui kata-kata dapat menjernihkan pikiran dan meningkatkan semangatnya. Mulligan meninggalkan pelatihan dengan rasa senang, tanpa ketakutan yang senantiasa menghantuinya. Kini ia adalah seorang novelis yang bersemangat.

Dampak Menulis terhadap Kesehatan Fisik

James Pennebaker, Ph. D., telah melakukan belasan penelitian yang melibatkan berbagai kalangan: pelajar, ibu rumah tangga, mahasiswa bahkan narapidana. Umumnya mereka merasa lebih bahagia dan sehat setelah menuliskan kenangan pahit yang menyebatkan trauma mendalam.

Menulis tidak saja berdampak pada kondisi emosional. Dari penelitian Pennebaker di tahun 1988 yang berjudul Journal of Consulting and Clinical Psychology ditemukan bahwa sel T-lymphocite, yakni sel yang mengindikasikan bekerjanya sistem kekebalan tubuh, meningkat jumlahnya enam minggu setelah para mahasiswa melampiaskan stresnya melalui tulisan. Penelitian lainnya juga membuktikan banyak pasien semakin jarang berkunjung ke dokter dan skor tes psikologinya meningkat setelah mengikuti terapi menulis.

Bahkan Joshua Smyth, Asisten Profesor dari North Dakota State University, memberikan pernyataan yang lebih spesifik: menulis pengalaman buruk atau stres menghilangkan gejala asma dan rematik (rheumatoid arthritis). Ia melakukan penelitian terhadap 70 orang penderita asma dan rematik. Ke-70 pasien ini dibagi dalam dua kelompok. Yang pertama diharuskan menulis pengalaman pahit atau menyedihkan selama 20 menit dalam tiga hari berturut-turut. Kelompok lainnya (37 orang) menuliskan rencana kegiatan sehari-hari.

Setelah empat bulan ditemukan fakta menarik. Empat puluh tujuh persen pasien yang menulis pengalaman buruk mengalami perkembangan yang signifikan. Pasien rematik berkurang rasa sakitnya dan kapasitas paru-paru pasien asma meningkat. Sementara hanya 24% pasien dari kelompok kedua mengalami kemajuan. Hasil penelitian ini dipublikasikan 14 April 1999 dalam Journal of Consulting and Clinical Psychology.

Meskipun demikian para ilmuan belum dapat memastikan dampak menulis terhadap kondisi kesehatan. Jawabannya, menurut Pennebaker, mungkin terletak pada hubungan yang masih misterius antara stres dan penyakit. Tapi dari berbagai penelitian dapat dibuktikan bahwa stres berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan, memberi peluang timbulnya penyakit jantung dan memperlemah arthritis, asma dan berbagai penyakit lainnya.

Terapi menulis mungkin saja memberikan pengaruh serupa terhadap penderita penyakit lainnya. Pennebaker dan koleganya kini sedang menerapkan menulis sebagai terapi bagi pasien infertil dan rencananya juga akan diterapkan pada penderita kanker payudara. Mereka juga masih ingin melakukan penelitian serupa terhadap para veteran dan korban pelecehan seksual.

Menulis pengalaman pahit sebagai terapi memang tidak harus memperhatikan kaidah bahasa. Tapi tetap saja tidak mudah. Bagi pelaku, hal itu bagaikan mengorek luka lama. Mulligan sendiri harus berkali-kali menenangkan diri sebelum akhirnya mampu menyelesaikan tulisannya. Tapi penulis novel Shopping Cart Soldier ini berpendapat bahwa inilah kesempatan untuk menghadapi ’setan’ yang menghantui hidupnya. Dan ’setan’ atau musuh ini tampaknya lebih jinak di atas kertas ketimbang dalam pikiran.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3bCWPFATSZPQRN8EmpsNVx4OGWMV9mnM6L0jN5E8caDect2eKorXeStS11rsyaOR252cxHq6djFJfIU5IB6HmNyDwBYOrzxv3sndc09AQDwJSA6LFf_8K7H3D5YkDBsxsUoytQSiK-IoO/s1600/menulis14.jpg

Sumber

Wê-Zëd

"Jam ± 05.00 – 05.30 bangun pagi lalu (biasanya lanjut kegiatan MCK, baru->) sholat shubuh, Jam ± 07.15 – 07.20 waktu berangkat ke kantor, Jam ± 12.15 – 13.30 ISHOMA (Istirahat, Sholat Dzuhur, Makan), Jam ± 15.30 (Sholat Ashar di kantor bila memungkinkan), Jam ± 16.00 – 17.00 (pulang ke rumah lanjut ISHOMA), Jam ± 17.45 – 18.30 (kegitan MCK, lanjut) Sholat Maghrib, selanjutnya santai nonton TV sambil ngemil atau makan lagi, Jam ± 19.30 – 20.00 Sholat Isya’, menyambung nonton TV dan lainnya, sekitar Jam ± 22.00 – 23.30 merebahkan diri untuk tidur dan melanjutkan kehidupan hari berikutnya."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak