ALLAH SWT Adalah Tuhan Kita (Seluruh Makhluk Di Alam Semesta) ?

Benarkah Tuhan Saya adalah ALLAH SWT?

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEid-68iidSTe7Oe3bSSibMfYWFChVSda4wKZE45RlPP_5KQ_Jm-RxOa6_u3wiCjmWpl1SVO1R1Dnp-0sHsoCjNqPkLFh-eXWkzi5r2gi69aMe3KKdDrOUwhmWNHyQK4-jm0cfo-ySjNe70/s1600/asmaaulhusna.jpg

Sebagai WNI yang tunduk terhadap UUD 1945 maka saya diwajibkan untuk memiliki agama dan hidup berdasarkan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.

Namun benarkah Tuhan saya adalah apapun yang saya sebut sebagai Alloh SWT?

Atau jangan-jangan saya baru sekedar mengklaim diri sebagai seorang deis karena atheis dilarang hidup di Indonesia?

Maka saya pun mencoba renungkan hal-hal berikut ini dengan setidaknya mengambil empat batasan mengenai pengertian Tuhan yang bisa diterima bersama sebagai berikut:
  • Sesuatu yang saya sembah.
  • Sesuatu yang saya jadikan prioritas teratas.
  • Sesuatu yang saya takuti.
  • Sesuatu yang mampu memaksa saya menaati aturan-aturannya tanpa kecuali.

Tentu saja masih ada banyak batasan-batasan lainnya.

Tapi dari keempat hal tersebut saya mencoba merenung dan melakukan diskusi yang jujur dengan nurani ini.

Sesuatu yang saya sembah

Ya, tentu saja Tuhan adalah sesuatu yang saya sembah.

Disembah karena saya ingin mengabdikan diri seutuhnya kepada-Nya.

Disembah karena saya menjadikannya segala pusat tujuan dari hidup ini.

Jika memang saya sebagai seorang Muslim mengaku menyembah Alloh SWT maka apa bedanya Dia dengan katakanlah gelar akademik, status ekonomi, status sosial, dsb yang selalu saya jadikan segala pusat tujuan dalam hidup ini?

Bukankah saya dengan segala daya upaya dan mengorbankan segala-galanya demi meraih hal-hal tersebut?

Membeli ijazah demi status gelar akademik, bekerja keras bahkan mencuri dan menipu demi harta dan penghargaan sosial atas status saya tersebut?

Maka apakah memang betul Tuhan saya adalah apa yang selalu disebut dalam setiap doa saya?

Apakah layak Tuhan saya hanya jadi pelayan yang harus melayani setiap keinginan yang saya bungkus dalam sederet kalimat yang disebut doa?

Padahal bagi seorang Muslim pada saat sholat pun tidak pernah memusatkan pikiran dan hati saya hanya kepada Alloh SWT?

Sesuatu yang saya jadikan prioritas teratas

Kita semua tentu sepakat bahwa Tuhan haruslah berada dalam prioritas teratas dalam hidup ini.

Tuhan adalah segala-galanya bagi kita.

Tuhan adalah prioritas tertinggi tanpa ada satupun yang mengatasinya.

Maka sebagai prioritas tertinggi dalam hidup ini, bukankah seharusnya Dia selalu hadir dalam ingatan, tarikan nafas dan denyut nadi saya?

Tapi mengapa yang selalu hadir dalam ingatan saya adalah wajah manusia kekasih dan buah hati saya?

Atau saya lebih memenuhi pikiran saya dengan harta dunia yang selalu berusaha saya kumpulkan dan jaga?

Sesuatu yang saya takuti

Tuhan adalah Yang Maha Ditakuti oleh saya.

Tidak ada satupun yang mampu membuat saya takut melebihi ketakutan kepada-Nya.

Hingga saya selalu merasa bahwa Dia selalu memantau saya setiap saat tanpa jeda.

Membuat saya selalu berusaha mengikuti segala titah-Nya karena ketakutan atas kuasa-Nya.

Jika demikian adanya, sebagai seorang Muslim, layakkah saya mengaku bertuhankan Alloh SWT sedangkan masih sering berlaku tidak jujur dan mengabaikan murka-Nya atas tindakan saya tersebut?

Atau saya masih merasa takut kehilangan harta, isteri, anak dan apapun yang saya miliki saat ini padahal seharusnya saya lebih takut kehilangan Alloh SWT?

Bahkan sebenarnya ternyata diri saya sendiri ini pun hakikatnya bukanlah milik saya?

Padahal para setiap rosul yang diutus Alloh SWT tidak pernah merasa takut kehilangan apapun termasuk nyawanya sendiri saat menyampaikan ajaran-Nya?

Sesuatu yang mampu memaksa saya menaati aturan-aturannya tanpa kecuali

Tuhan adalah Dia yang mampu memaksa saya untuk tunduk patuh terhadap seluruh aturan yang ditetapkan-Nya.

Sebagai seseorang yang mengaku sebagai Muslim, layakkah saya mengaku bertuhankan Alloh SWT jika masih berani melawan dan menganggap angin lalu titah-Nya untuk menaati setiap aturan agama-Nya?

Lantas apa bedanya Alloh SWT dengan petugas POLRI jika dia mampu memaksa saya untuk mematuhi hukum negeri ini?

Saya pun hanya bisa termenung, menangis bercampur tawa karena menyesali kebodohan serta menertawakan kemunafikan saya.

Ah, ternyata saya masih belum layak menyandang diri sebagai seorang hamba Tuhan yang disebut Alloh SWT.

Saya ternyata hanya seorang budak dari tuhan yang sedemikan rapuh dan nista.

Jika tuhan saya sedemikan rapuh dan nista maka disebut apakah saya sebagai hambanya?

NB:

Tulisan ini saya dedikasikan kepada seluruh guru-guru spiritual yang telah mengajari dan menjadi teladan selama ini.

*****

Benarkah ALLAH SWT adalah Tuhan Kita?

http://accentual.files.wordpress.com/2010/07/earth-belongs-to-allah.jpg

Dari kecil kita sering dikenalkan dan diajarkan menyembah Dzat Yang Maha Terpuji Segalanya: “Alloh SWT” atau apapun namanya di agama dan kepercayaan di luar Islam.

Begitu banyak dogma diserapkan ke dalam benak kita bahwa ada Sang Dia yang Maha Segala-galanya dan menguasai sepenuhnya hidup ini dalam bentuk apapun.

Dia yang selalu kita sembah dan junjung tinggi diiringi ratapan di setiap permohonan kepada-Nya.

Dia adalah tempat kita meminta segala hal dan menjadi tumpuan segala harapan.

Dia adalah tempat kita menghambakan diri di setiap tarikan nafas dan denyutan darah.

Tetapi, apakah Dia itu memang ada dan menjadi Tuhan kita?

Tuhan yang Maha Esa, tempat segala penghambaan dilakukan dengan segenap diri kita kepada-Nya.

Padahal setiap saat kita lebih banyak menuntut kepada-Nya. Memaksa-Nya untuk mengabulkan setiap dorongan nafsu diri kita.

Kita selalu menyuruh-Nya untuk mendengarkan apa yang kita mau. Padahal kita sendiri tidak pernah berusaha khusyu’ untuk mendengarkan apa yang Dia mau.

Kita mengaku hamba-Nya tetapi berani menyuruh-Nya dan seringkali bersikap kurang ajar kepada-Nya.

Padahal jika pembantu rumah tangga kita bersikap agak kurang sopan karena minimnya pengetahuan tata krama mereka bisa membuat meledaknya amarah kita karena tingginya nilai harga diri kita.

Kita meniatkan diri untuk menjadikannya tujuan dalam hidup ini tapi seringkali memperalatnya supaya memenuhi segala kepentingan kita tanpa peduli apakah itu sejalan dengan keinginan-Nya.

Jika demikian adanya maka masih masih pantaskah kita mengaku bahwa Alloh SWT adalah Sang Esa yang menjadi tempat kita menghamba? Padahal sebenarnya diri kita ternyata tiada daya dan upaya selain karena pertolongan-Nya.

*****

Ternyata Alloh SWT Melarang Kita Memberi karena Ingin Menerima Lebih Banyak

Sepulang dari tempat kerja, saya mendengarkan radio di kendaraan. Kebetulan saat sedang memindai frekuensi, terdengar alunan seorang saritilawah yang membacakan terjemahan Surat al-Mudadtsir.

Tiba-tiba saya terhenyak saat terdengar kalimat ini:

“..dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhan-mu, bersabarlah.”

Nggak kerasa.. badan saya jadi bergetar, merinding dan bergidik secara spontan.

Ternyata selama ini saya sudah terlenakan dengan prinsip dan cara pandang yang ditunggangi nafsu, bahwa jika ingin memperoleh sesuatu maka haruslah memberi terlebih dahulu.

Seolah-olah dengan apa yang saya lakukan dan berikan untuk orang lain pada akhirnya terselip niat untuk memperoleh balasan dalam bentuk apapun.

Sudah tidak ada lagi spirit tanpa pamrih atau ketulusan di dalamnya, apalagi sifat ikhlas yang menjadi tuntutan pola pandang seorang Muslim sejati.

Saya pun menjadi malu sejadi-jadinya kepada Alloh SWT.

Betapa ternyata saya sudah terjerumus melanggar larangannya demi sekedar mengikuti nafsu belaka.

Apapun yang kita usahakan pada akhirnya hanyalah ditujukan untuk menghambakan diri kepada-Nya.

Seharusnya saya berpegang teguh pada janji-Nya bahwa Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka jika kita total beriman dan bertakwa kepada-Nya.

Seharusnya saya betul-betul total pasrah dengan keyakinan tanpa ragu bahwa Dia akan menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang selalu mendahulukan orang lain tanpa memikirkan dirinya sendiri.

Ah.. terima kasih dan mohon ampun yang sedalam-dalamnya hamba persembahkan kepada-Mu ya Alloh..

Semoga saritilawah dan pemilik siaran radio yang menjadi alat untuk mengingatkan saya tersebut memperoleh balasan kebaikan yang setimpal dari-Nya.

*****

Berperang Demi Tuhan atau Demi Kekuasaan?

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia terutama jika dipijakkan pada masalah keagamaan maka terlihat bahwa banyak sekali torehan catatan berdarah di dalamnya.

Torehan catatan berdarah yang dibungkus dengan slogan “berperang demi Tuhan”.

Slogan yang sedemikian membius kita mengenai sebuah perjuangan untuk “menghancurkan” para musuh Tuhan “kita”.

Seolah-olah Tuhan “kita” (dalam hal apapun agama dan Tuhan itu sendiri) memang sedemikian tidak Maha Pengasih dan Penyayangnya sehingga pembantaian atas nama-Nya adalah sebuah tindakan suci.

Padahal jika kita runut sejarah, ternyata Tuhan hanyalah “alat” untuk membolehkan alasan-alasan para diktator dalam menyerang lawan-lawannya yang harus diberangus atau bahkan dilenyapkan.

Sebuah hal yang cukup mengiris hati karena bagaimanapun ternyata sebagai manusia kita diberi naluri oleh Sang Maha Pencipta untuk melakukan “perlawanan” atas hal-hal yang dirasakan sudah mengganggu kebahagiaan hidup yang dijalani.

Sehingga saat para “penyerang” melakukan serbuan ke dalam kedaulatan “pembela diri” maka terjadilah bentrokan yang sama-sama mengatasnamakan Tuhan.

Namun benarkah peperangan itu sejatinya adalah sebuah niatan suci untuk mengagungkan Tuhan?

Jawabannya adalah TIDAK.

Perang itu hanyalah wujud keserakahan manusia yang ingin menguasai setiap jengkal tanah di bumi ini dan dorongan nafsu terendah dalam dirinya.

Perang apapun yang terjadi mengatasnamakan Tuhan selalu terbentur dengan kenyataan bahwa “niat suci” tersebut adalah bungkus dari sebuah ketamakan.

Menurut saya adalah sesuatu yang sudah sedemikian basi dan tidak bermoral sekali jika teriakan “berperang demi Tuhan” masih saja digemakan.

Karena pada kenyataannya kita berperang demi memuaskan keserakahan dan di sisi yang lain dilakukan untuk memuaskan naluri bertahan sebagaimana layaknya sebuah organisma hidup di alam semesta ini.

*****

Mencari Tuhan (Cerita - Renungan)

Cantrik Jabrik pada suatu pagi menghadap Begawan Bestari untuk memberikan semacam pernyataan sikap atas kondisi ruhaniyah termutakhirnya.

“Guru, saya tadi malam dalam sebuah perenungan yang dalam mendapat pencerahan spiritual yang luar biasa,” kata Cantrik Jabrik dengan sedikit nada kesombongan di dalamnya.

“Bagus muridku.. pencerahan spiritual luar biasa apa yang sudah kamu dapatkan tadi malam,” timpal Begawan Bestari kepada Cantrik Jabrik dengan senyum penuh kearifan.

“Saya mendapat pencerahan bahwa ternyata TUHAN ITU TIDAK ADA..” tegas Cantrik Jabrik.

“Kenapa kamu bisa mendapat kesimpulan seperti itu,” tanya Begawan Bestari dengan tenang.

“Karena ternyata Tuhan tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Tuhan adalah khayalan orang-orang lemah tak berdaya yang takut menghadapi hidup. Ketakutannya itu menciptakan ilusi dan delusi suatu kekuatan tak terbatas yang diakuinya mengatur hingga menguasai seluruh hidupnya,” jawab Cantrik Jabrik.

“Jadi maksudmu Tuhan itu tidak ada karena daya inderawi kita tidak bisa menangkap kehadirannya? Telinga tidak bisa mendengar suara firman Tuhan, mata tidak bisa melihat wujud Tuhan, mulut tidak bisa berbicara dengan Tuhan, hidung tidak bisa mencium aroma Tuhan dan kulit tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan, begitu maksudmu?” tanya Begawan Bestari kepada Cantrik Jabrik.

“Betul begawan,” jawab Cantrik Jabrik.

“Baiklah, sekarang jawab pertanyaan ini satu persatu,” tekan Begawan Bestari kepada Cantrik Jabrik.

“Jika kamu tuli dari sejak lahir, bisakah kamu mendengarkan suara-suara yang ada di sekelilingmu?” tanya Begawan Bestari.

“Jika kamu buta dari sejak lahir, bisakah kamu melihat benda-benda yang ada di sekelilingmu?”

“Jika kamu bisu dari sejak lahir, bisakah kamu bercakap-cakap?”

“Jika kamu sedang sakit pilek berat, bisakah kamu mencium aroma di sekelilingmu?”

“Jika kamu sedang menderita penyakit kulit berat, bisakah kamu merasakan sesuatu yang kamu sentuh?”

“Tidak,” jawab Cantrik Jabrik.

“Nah, sekarang jika kamu renungkan. Bagaimana kamu bisa memastikan keberadaan Tuhan jika inderawi kita sedang terganggu saja tidak bisa memastikan keberadaan benda-benda di sekitar kita?” ungkap Begawan Bestari dengan bijak kepada Cantrik Jabrik.

(Sumber)

Wê-Zëd

"Jam ± 05.00 – 05.30 bangun pagi lalu (biasanya lanjut kegiatan MCK, baru->) sholat shubuh, Jam ± 07.15 – 07.20 waktu berangkat ke kantor, Jam ± 12.15 – 13.30 ISHOMA (Istirahat, Sholat Dzuhur, Makan), Jam ± 15.30 (Sholat Ashar di kantor bila memungkinkan), Jam ± 16.00 – 17.00 (pulang ke rumah lanjut ISHOMA), Jam ± 17.45 – 18.30 (kegitan MCK, lanjut) Sholat Maghrib, selanjutnya santai nonton TV sambil ngemil atau makan lagi, Jam ± 19.30 – 20.00 Sholat Isya’, menyambung nonton TV dan lainnya, sekitar Jam ± 22.00 – 23.30 merebahkan diri untuk tidur dan melanjutkan kehidupan hari berikutnya."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak