Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah lurus yang ahli ibadah. Imam Ahmad pernah mengatakan, bahwa tidak ada seorangpun tabi’in yang ucapannya bisa dijadikan hujjah, selain Umar bin Abdul Aziz. Ketika ajalnya sudah mendekat, dia meminta isterinya, Fatimah, “Keluarlah dari kamar ini, sebab aku melihat beberapa makhluk yang bukan bangsa manusia dan bukan pula bangsa jin, yakni malaikat”, lirihnya.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾
نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ﴿٣١﴾
نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ﴿٣٢﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kmau merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu. Kamilah pelindung-pelindung dalam kehidupan dunia dan akhirat, didalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari Allah Yang Maha Pengampun, Maha Penyang”. (QS : Fushilat : 30-32)
Lalu, Umar bin Abdul Aziz bersuara sangat lirih, “Ya Allah. Teguhkanlah kami dengan kalimat yang teguh, ketika arwah kami menyesakkan kami dan penderitaan kami amat berat, sehingga tidak ada tempat lari dan berlindung kecuali kepda-Mu”, ucapnya.
يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاء ﴿٢٧﴾
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”. (QS : Ibrahim : 27)
Banyak orang yang ajalnya datang ketika maksiat mereka menggunung. Entah karena pembunuhan, zina, khamar, riba, nyanyian , tidak shalat lima waktu berjamaah, ataupun tidak peduli pada risalah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.
Laa ilaaha illallah, betapa lalainya mereka itu!
Sehabis ditangkap, Sa’id bin Jubair dibawa menghadap Al-Hajjaj.
“Siapa namamu?”, tanya Hajjaj mencomooh.
“Sa’id bin Jubair”, sahutnya.
“Bukan. Nama kamu adalah si Sial (Syaqi) bin Kusair”.
“Ibuku lebih tahu namaku daripada engkau”, jawabnya.
“Celaka kamu .. celaka pula ibumu”, balas Hajjaj, sambil melanjtukan.
“Demi Allah. Kamu akan saya masukkan ke dalam api yang menyala-nyala”, teriak Hajjaj
“Kalau aku tahu kamu sanggup melakukannya, pasti engkau sudah aku jadikan tuhan”, sergah Sa’id.
“Bawa sini harta kekayaan”, datangkanlah emas perak, cetus Hajjaj.
“Hajjaj”, kata Sa’id, “Sekiranya kekayaan ini engkau kumpulkan untuk menyelamatkan dirimu dari azab yang pedih, alangkah bagusnya. Tapi, bila engkau melakukan itu untuk riya dan ingin disebut orang, demi Allah tidak akan ada gunanya disisi Allah sedikitpun”, tegas Sa’id.
“Bawa ke sini budak perempuan yang bisa menyanyi”, perintah Hajjaj.
Lalu, Sa’id menangis.
“Apakah lagunya enak”, tanya Hajjaj.
“Demi Allah. Bukan. Aku menangis lantaran ada budak yang diperkerjakan untuk sesuatu yang b ukan untuk itu ia diciptakan, dan lantaran kayu yang dijadikan alat musik untuk digunakan bermaksiat kepda Allah”, cetus Sa’id.
Sa’id membacakan firman-Nya :
“Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah”. (QS : 115)
“Banting ke tanah!”, teriak Hajjaj penuh amarah.
Tetapi, Sa’id menjawab, “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan megnembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pda waktu yang lain”. (QS : Thaha :55)
“Demi Allah. Sahya akan membunuh kamu dengan cara yang tidak eprnah digunakan orang”, kata Hajjaj.
“Hajjaj. Engkau boleh pilih cara sesukamu. Demi Allah, cara apapun yang engkau pilihl membunuhku, niscaya Allah juga akan membunuhmu dengan cara seperti itu”, cetus Sa’id.
Sebelum dibunuh, Sa’id berdo’a.
“Ya Allah. Jangan biarkan dia menindas siapapun setelah aku mati”, ucap Sa’id dengan lirih.
Kemudian, kepala Sa’id pun dipenggal oleh Hajjaj. Hanya beberapa bulan kemudian, Hajjaj meronta-ronta, karena sakit sampai Allah membinasakannya.
Tentu, hendaknya kita selalu mengingat kematian, yang akan datang setiap saat. Terkadang kita lalai dan lupa akan kematian, lupa peristiwa sesudah mati. Karena kita terperosok ke dalam maksiat, nafsu syahwat, syubhat, yang membuat Allah menjadi marah.
Diriwayatkan dari Maimun bin Mahram, ahli zuhud yang ahli ibadah dan alim, bahwa ia menggali sebuah lubang kubur di dalam rumahnya. Setiap malam ia masuk ke dalam kubur itu sambil menangis dan membaca al-Qur’an. Lalu, ia keluar lagi dan berujar kepada diri sendiri. ”Maimun sekarang engkau telah kembali ke dunia, kerjakanlah amal shaleh”, bisiknya dalam hati.
Mengingat mati bisa dilakukan dengan berziarah kubur. Seiring dengan berkembangnya peradaban, perkembangan budaya, berbagai macam godaan syahwat, ragam makanan yang lezat, corak pakaian dan barang-barang perabot, maka ziarah kubur jarang-jarang dilakukan. Akibatnya, kamatian pun dilupakan.
Ziarah kubur, mengucapkan salam kepada para penghuni makam, dan mendoakan mereka. Merenungi bagaimana pemusnah kenikmatan merenggut mereka, memasukkan mereka ke dalam liang yang gelap. Menarik mereka keluar dari rumah, gedung dan istana. Dahulu mereka makan minum, berfoya-foya, tertawa-tawa, mengendarai mobil mewah, menduduki jabatan tinggi, membangun gedung-gedung pencakar langit, dikawal tentara, dikerumuni banyak orang, bendera berkibar diatas kepala mereka, tetapi akhirnya semua direnggut dari tangan mereka, dan mereka dikuburkan ke dalam lubang-lubang yang sempti.
Dalam shahih Bukhari, Ibnu Umar ra, berkata Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam menarik pundakku, “Di dunia ini jadilah engkau seperti orang yang asing atau musafir”. Hanya orang-orang yang segera bertobat yang bersiap-siap menghadapi kematian.
Sa’id Ibnu Musayyib, ketika sekarat berujar, “Alhamdulillah. Selama empat puluh tahun, saya selalu berada di masjid Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ketika muazin mengumandang azan”, ucapnya. Wallahu’alam.
Aidh Al-Qarni. Pengarang La Tahzan (Sumber)