Hidup ini memang penuh kelucuan. Masalahnya adalah kitalah sumber kelucuan itu. Melihat tingkah kita, sepertinya para malaikat akan gemas sekaligus geram, seperti seorang ibu muda sedang melihat anaknya yang lucu dan imut, tapi sedang bertingkah nakal. Semut, cicak, nyamuk, pohon, rerumputan, angin dan semua makluk-Nya juga akan terheran-heran melihat kelakuan kita.
Mungkin karena suasana di dalam masjid yang begitu tenang dan hening, angin pun bertiup sepoi-sepoi mengelus-elus pipi kita dengan lembutnya—apalagi di dalam masjid terdapat kipas angin atau ِAir Conditioner (AC)—pepohonan juga melambai-lambai serasa membelai rambut indah kita dengan kasih sayangnya, ditambah lagi kita sebelumnya telah melakukan aktivitas sekolah atau kerja; maka suara khatib persis seperti suara ibu kita yang mendongeng sebelum kita tidur di pembaringan, ketika kita masih kecil.
Bahkan, karena tidur ketika khutbah disampaikan sudah menjadi hal yang ghalib (umum), muncullah sebuah anekdot, “Kalau ada orang menderita insomnia—susah tidur—ajak saja untuk shalat Jum‘at. Niscaya, saat mendengarkan khutbah, dia akan tertidur pulas.” Entah sikap apa yang harus diambil, apakah kita harus bangga atau tidak dengan anekdot ini. Mari kita tanyakan pada diri sendiri.
Kenapa hal itu terjadi? Tidak malukah kita kepada diri sendiri, terlebih kepada Allah? Padahal, kita adalah makhluk tertinggi, yang diciptakan dengan sangat sempurna oleh-Nya.
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱْلإِنْسَـانَ ِفيْ أَحْسَـنِ تَقْوِيْمٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (QS at-Tîn [95] : 4)
وَلَقَدْ كَرَّمْناَ بَنِيْ ءَادَمَ وَحَمَلْنٰـهُمْ فىِ ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنٰـهُمْ مِّنَ ٱلطَّـيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰـهُمْ عَلىٰ كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقْناَ تَفْضِيْلاً
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS al-Isrâ’ [17] : 70)
Marilah kita tengok lagi siapa diri kita. Apakah kita memang begitu hebat? Sudah ditemukan bahwa semua makhluk hidup memiliki alphabet DNA (DeoxyriboNucleic Acid) yang sama, yaitu A (Adenine), C (Cytosine), G (Guanine) dan T (Thymine). Dalam struktur helix ganda DNA, A berpasangan dengan T, sedangkan C berdampingan dengan G. Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat 100 trilyun sel. Dalam setiap inti sel terdapat 23 pasang kromosom yang disusun oleh 3 milyar huruf alphabet tadi. Jika DNA dalam setiap tubuh manusia direntangkan, maka panjangnya akan melebihi 600 kali jarak bumi dan matahari.
Bagaimana dengan otak manusia? Otak manusia terdiri lebih dari 100 milyar sel yang terdapat pada bagian luar struktur utama otak yang disebut cortex. Setiap sel merupakan satu sistem proses informasi yang kecil. Sebagai satu kesatuan, sel-sel saraf ini terdiri atas berbagai elemen dari bagian berpikir otak. Dengan adanya interaksi fisik sel-sel saraf inilah organ-organ dari otak memberikan kehidupan pada otak. Satu sel saraf pada umumnya mampu menerima sampai 15.000 sinyal secara fisik dari sel saraf lainnya dalam waktu bersamaan yang begitu cepat, yaitu sekitar 150 nano second atau 0,000000150 detik.
Sir Charles Sherington, seorang ahli saraf otak dari Inggris berkata, “Otak manusia adalah sesuatu yang tampak memesona dengan jutaan kumparan yang berkelip membentuk pola tertentu, suatu pola yang penuh arti dan tak kunjung diam, yang terdiri dari suatu perubahan yang harmoni dari pola-pola yang lebih kecil. Ini mirip seperti galaksi Bimasakti memasuki sebuah kosmik, bagaikan sedang berdansa.”
Ternyata, orang yang paling cerdas pun tidak sampai menggunakan 5% dari kemampuan otak sesungguhnya. Sampai saat ini masih diteliti terus tentang bagaimana memfungsikan otak secara optimal. Entah seperti apa kemampuan seseorang jika bisa memfungsikan 100% kemampuan otaknya. Ibarat kaset rekaman, otak kita mampu menerima informasi yang diinputkan selama 24 jam sehari, satu hal baru setiap detik, selama 30 juta tahun. Saat itulah otak baru terisi penuh. Subhânallâh.
Cobalah kita bayangkan sejenak, betapa dahsyat dan sempurnanya manusia ciptaan Allah itu, yaitu diri kita sendiri. Semua ini diciptakan bukan secara sia-sia atau untuk disia-siakan. Manusia adalah makhluk kepercayaan-Nya, wakil Allah, khalifah di muka bumi yang memiliki fungsi rahmatan lil ‘âlamîn.
Dengan kesempurnaan seperti itu, kok bisa-bisanya kita tidur ketika khutbah disampaikan? Tidakkah kita tahu bahwa mendengarkan khutbah itu hukumnya wajib? Mungkin karena kita merasa sudah pintar sehingga kita berargumen, “Ah, paling-paling isi khutbahnya itu-itu saja... Tidak uptodate, membosankan! Sudah bertahun-tahun saya shalat Jum‘at, saya sudah hapal semua materi khutbah.” Atau barangkali kita akan mengatakan, “Khatibnya nggak enak, monoton! Saya jadi malas mendengarkan khutbah. Mendingan tidur, kan nanti harus kerja lagi.”
Memang, penonton “lebih berkuasa” dibandingkan pemain. Pendengar lebih bebas berkomentar daripada khatib. Apakah kita merasa diri kita lebih hebat dari sang khatib? Kalau kita diminta untuk menjadi khatib, apakah kita mampu dan bisa lebih baik daripada khatib yang kita remehkan? Jika pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada kita, lalu apa jawab kita? Mungkin kita akan bersilat lidah dengan menjawab, “Wah, saya kan bukan lulusan pesantren. Saya juga bukan alumni UIN/IAIN. Jelas saya nggak bisa. Tapi, kan... Seharusnya kalau sudah mau jadi khatib, ya resiko. Kalau memang nggak enak khutbahnya, jangan jadi khatib dech... Seperti saya saja, duduk manis.”
Marilah kita ingat lagi pesan agama, yang tersebut dalam firman Allah di dalam Al-Qur’an :
يَۤاأَيُّهَا ٱلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا قُوْا أَنْفُسَـكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ ناَرًا وَقُوْدُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ
Hai orang-orang beriman, peliharalah (jagalah) dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS at-Tahrîm [66] : 6)
Kaidah (peraturan umum) tentang urutan pelaksanaan suatu perintah agama adalah :
اِبْدَأُوْا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
Mulailah dengan apa yang Allah telah memulainya.
Dari ayat di atas, jelaslah bahwa urutan pertama perintah untuk menjaga dari api neraka ditujukan pada diri sendiri. Janganlah kita mengurusi orang lain, tetapi mengabaikan urusan sendiri. Kalau pun khatibnya tidak seperti yang kita harapkan, kita harus tetap mendengarkan khutbah dengan baik. Bukankah itu suatu kewajiban? Selain itu, di dalam khutbah juga ada peringatan kepada kita untuk senantiasa berbuat baik. Terdapat juga ilmu yang bisa kita ambil manfaatnya. Tidak ada suatu kebaikan pun yang sia-sia. Disamping itu, ada anjuran bahkan perintah agar kita mengutamakan apa yang dinasihatkan, bukan pada orangnya.
اُنْظُرْ مَا قَالَ وَلاَ تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
Perhatikan apa yang diucapkan, dan jangan melihat siapa yang bicara.
Barangkali memang kita belum tahu bahwa tidak diperkenankan untuk tidur ketika khutbah disampaikan. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِِبكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ، وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Apabila engkau berkata kepada temanmu di hari Jum‘at, “Diamlah,” padahal imam sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat sia-sia (laghâ). (HR Bukhari)
وَمَنْ قَالَ صَهْ فَقَدْ تَكَلَّـمَ وَمَنْ تَكَلَّـمَ فَلاَ جُمُعَةَ لَهُ
Siapa mengatakan, “Diamlah,” berarti ia telah berbicara, dan siapa yang berbicara maka sesungguhnya tidak ada shalat Jum‘at baginya. (HR Ahmad)
Nah, kalau sekadar berkata “Diamlah” saja tidak diperbolehkan, apalagi tidur, yang berarti tidak mendengarkan khutbah. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa karena shalat zhuhur itu empat raka’at, sedangkan shalat Jum‘at itu dua raka’at, maka dua khutbah adalah ganti dari dua raka’at shalat Zhuhur.
Bila terkadang kita tidur ketika khutbah, kadang-kadang juga kita terlalu canggih dan kreatif, sehingga memutar tasbih untuk berdzikir sambil mendengarkan khutbah. Bisa saja karena kita meyakini diri kita adalah orang alim, otak kita begitu hebat, lebih hebat daripada mainframe bahkan super komputer, maka kita berdalih bisa melaksanakan dzikir sambil mendengarkan khutbah sekaligus, seperti konsep multi tasking dan multi threading di komputer. Kita menyamakannya dengan mendengarkan radio sambil membaca buku.
Entah dalil naqli dan aqli apa yang kita pelajari; sedangkan berkata “Diamlah” saja tidak diperbolehkan, kok kita malah mengucapkan banyak kata. Khutbah itu untuk didengarkan sepenuh hati. Kalau kita mau berdzikir, hendaklah itu dilakukan sebelum khutbah atau sesudah shalat Jum‘at. Bahkan, kegiatan seperti itu bisa membuat hati kita terjangkit penyakit riya’, supaya dianggap ahli dzkikir, yang lisannya tak henti-henti menyebut asma Allah. Na‘ûdzubillâh.
Mendengarkan khutbah dengan penuh perhatian adalah perintah junjungan kita, Nabi Muhammad saw.
مَنْ تَوَضَّـأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْـتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ، وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Siapa berwudhu dengan sempurna dan pergi shalat Jum‘at, lalu mendengar khutbah dan diam (memperhatikan), maka akan diampuni dosa yang terjadi pada hari itu sampai pada Jum‘at lagi, ditambah tiga hari. Dan siapa yang bermain-main dengan kerikil (batu), berarti sia-sia Jum‘atnya. (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Dalam kitab “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”, Imam Nawawi menjelaskan bahwa salah satu hal yang bisa menghentikan dzikir seseorang adalah mendengarkan khutbah Jum‘at.
Seringkali kita juga berlagak seperti orang super sibuk, sehingga datang shalat Jum‘at ketika khatib sudah di atas mimbar, bahkan ketika khutbah kedua akan berakhir. Kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat (‘udzur syar‘i), janganlah kita melakukan itu. Bukankah Allah menganugerahkan kepada kita kemampuan yang sangat luar biasa? Tidakkah kita bisa mengatur waktu kita? Time Management istilah orang modern.
Kalau dipanggil oleh atasan atau orang yang kedudukannya lebih tinggi saja, kita bersegera menemuinya; lalu kenapa ketika Allah Yang Menciptakan kita, Yang Maha Memberi Rejeki pada kita mengundang, kita malah bermalas-malas memenuhinya? Di mana logikanya? Marilah kita ingat bahwa yang memanggil kita bukanlah ta’mir masjid, tapi Allah Yang Maha Tinggi (Al-‘Aliyy) dan Maha Memerintah (Al-Wâliy). Begitukah balasan kita terhadap Beliau yang telah menganugerahkan semuanya? Itukah bentuk rasa syukur dan bukti ucapan kita bahwa kita adalah hamba Allah?
Dalam kitab “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah” dijelaskan bahwa Allah menganugerahkan hari Jum‘at untuk umat Nabi Muhammad saw., ridha Allah bersama hari itu dan surga sebagai hadiah bagi umat Islam. Tidakkah kita berbahagia mendapatkan kado terindah dari Yang Maha Pemberi (Al-Wahhâb)?
Mungkin kita akan berkilah, “Walaupun saya selalu datang terlambat, tapi kan saya mengisi kotak amal paling banyak.” Baiklah jika itu alasan kita. Pertanyannya adalah, “Bagaimana mungkin sesuatu yang hukumnya sunnah bisa mengalahkan yang wajib? Qa‘idah Ushul Fiqh bagian mana yang menjelaskan hal itu?”
Mungkin karena ilmu kita yang kurang sehingga kita berbuat seperti itu. Melaksanakan ibadah membutuhkan ilmu. Oleh karena itu marilah kita menambah ilmu, karena amal tanpa ilmu itu tertolak (wa kullu man bighayri ‘ilmin ya‘malu, a‘mâluhû mardûdatun lâ tuqbalu). Benarkah? Logikanya bagaimana? Misalnya kita tidak mengerti teknik reparasi televisi. Kemudian ada TV teman kita rusak. Karena niat baik ingin membantu teman, maka kita reparasi sendiri televisi itu. Apa akibatnya? Bukankah tetap rusak? Bahkan bisa lebih parah kan?
Bisa jadi kita masih berorasi, “Bukankah yang penting niatnya? Jangan bandingkan dengan reparasi TV, dong. Ini urusan ibadah. Tidakkah sudah jelas haditsnya bahwa amal itu tergantung niatnya (innamal a‘mâlu bin-niyyât)? Perbandingan yang sungguh tidak masuk akal!”
Jika kita memang ahli berdebat, baiklah. Jawabannya yaitu, “Yang tidak masuk akal adalah bagaimana mungkin kita sudah berniat terhadap sesuatu, tapi kita tidak mempersiapkan diri dan bermalas-malas ketika mengerjakannya. Kita seperti orang yang ingin kaya tanpa kerja keras, ingin pandai tapi tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh, ingin masuk surga tanpa harus ibadah secara istiqamah, atau ingin kenyang tanpa makan.”
Apa gelar yang disandangkan untuk orang seperti ini? Sebelumnya penulis haturkan maaf bila penjelasan berikut ini kurang berkenan di hati. Dalam kitab “Ta‘lîm al-Muta‘allim”, ada sebuah syair untuk orang ini :
وَالْجُنُوْنُ فُنُوْنٌ
Orang stres memang bermacam-macam.
Marilah kita ingat lagi ajaran agama Islam tentang bagaimana kita harus mendatangi shalat Jum‘at dan mendengarkan khutbah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
مَنِ اغْتَسَـلَ يَوْمَ اْلجُمُعَةِ غُسْـلَ اْلجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِى السَّاعَةِ الْخَامِسَـةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَـةً، فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْملاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ
“Setiap orang yang mandi pada hari Jum‘at seperti mandi besar (janâbah) dan kemudian pergi mengerjakan shalat (pergi di awal waktu), ia seolah-olah telah berkurban seekor unta (badanah); siapa yang pergi pada waktu kedua seolah-olah telah berkurban seekor sapi (baqarah); siapa yang pergi pada waktu ketiga seolah-olah telah berkurban seekor biri-biri (kabsyan aqran); siapa yang pergi pada waktu keempat seolah-olah telah berkurban seekor ayam (dajâjah); siapa yang pergi pada waktu kelima seolah-olah telah berkurbah seekor telur (baydhah). Dan ketika imam berdiri (untuk menyampaikan khutbah), para malaikat berkumpul untuk mendengarkan khutbahnya.” (HR Bukhari)
Kapan mandi sunnah pada hari Jum‘at dilakukan? Para ulama menjelaskan bahwa yang lebih utama adalah ketika akan berangkat shalat Jum‘at. Dengan demikian badan kita akan harum dan segar ketika melaksanakannya. Namun, sebenarnya mandi sunnah pada hari Jum‘at bisa dilakukan semenjak fajar (Subuh). Jadi, para pelajar, mahasiswa, guru atau pegawai bisa melakukannya sebelum berangkat ke sekolah atau tempat kerja. Caranya seperti mandi jinabat, yaitu meratakan air ke seluruh tubuh—dari ujung rambut sampai ujung kaki—tapi dengan niat untuk kesunnahan hari Jum‘at karena Allah.
Pada hari Jum‘at, kita diajarkan untuk memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi saw.
إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيْهِ قُبِضَ وَفِيْهِ النَّفْخَةُ وَفِيْهِ الصَّعِقَةُ فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ، قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلاَتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ؟ فَقَالَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ
Sesungguhnya yang paling utama dari harimu adalah hari Jum‘at. Di dalamnya diciptakan Adam, di dalamnya ia dicabut (nyawa), di dalamnya tiupan (sangkakala), dan di dalamnya keterkejutan. Maka, perbanyaklah shalawat kepadaku di hari itu. (Karena), sesungguhnya shalawat kamu diperlihatkan kepadaku. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana shalawat kami diperlihatkan sedang engkau telah usang (tulang belulangmu telah hancur)?” Rasulullah bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla mengharamkan atas bumi, jasad para Nabi.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
Anjuran lain adalah membaca surat al-Kahfi. Di sebuah hadits shahih, Rasulullah bersabda :
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُـعَةِ أَضَاءَ لَـهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْـعَتَيْنِ
Siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum‘at, niscaya Allah menyinarinya dengan cahaya selama antara dua Jum‘at. (HR Daruquthni dan Baihaqi)
Penulis pernah membuat sebuah analisa sederhana mengapa banyak jamaah mengantuk bahkan tertidur ketika khutbah. Jadilah sebuah hipotesis ala kadarnya. Hipotesis ini mengatakan bahwa karena hal itu dilarang, maka banyak orang melakukan. Buktinya, pada hari-hari biasa, ketika jam istrirahat, mengapa jarang sekali yang memanfaatkannya untuk tidur? Karena tidak ada yang melarangnya. Bisa jadi hipotesis ini benar adanya, namun bisa juga tidak. Toh penulis juga belum melakukan penelitian secara komprehensif. Memang, merupakan tabiat manusia, yang paling disenangi adalah sesuatu yang terlarang bagi dirinya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib kw. sampai mengatakan, “Andaikata manusia dilarang untuk membuat bubur dari kotoran binatang, pasti dia akan melakukannya.” Penulis sendiri pun pernah mengalami kantuk ketika mendengar khutbah. Memang, dibutuhkan perjuangan yang berat untuk mengalahkannya. Berbeda ketika menjadi khatib, tidak mungkin mengantuk, karena harus berkhutbah :-).
Daftar Pustaka :
- Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, asy-Syaikh, “Al-Adzkâr an-Nawawiyyah”
- Adi W. Gunawan, “Kesalahan Fatal dalam Mengejar Impian”, PT Gramedia Pustaka Utama, 2006
- Ary Ginanjar Agustian, “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual – ESQ (Emotional Spiritual Quotient)”, Penerbit Arga, Cetakan Kedua puluh sembilan : September 2006
- Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
- Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hâfizh, “Bulûghul Marâm – Min Adillatil Ahkâm”
- Muhammad bin Abi Bakar, asy-Syaikh, “Al-Mawâ‘izh al-‘Ushfûriyyah”
- Zainuddin Ahmad bin Abdul Lathif Az-Zabîdî, asy-Syaikh, “Ringkasan Shahîh Al-Bukhârî (Al-Tajrîd as-Sharîh li Ahâdîts al-Jâmi‘ as-Shahîh)”, Penerbit Mizan, Cetakan III : Dzulhijjah 1419/April 1999