Pertanyaan itu datang dari seorang teman saat saya mengajaknya sholat.
“Yang penting kan aqidah, ahlak, ngapain kita sholat, puasa, naik haji dan bayar zakat kalau masih juga nyolong, korupsi, nipu dsb,” cetus teman saya itu lagi.
Anda kaget mendengarnya?
Bagaimana jika ternyata pernyataan semacam itu dilontarkan oleh jutaan orang di seluruh dunia, terlebih jika orang-orang itu Muslim?
Sejujurnya saya merasa bersyukur karena masih bisa menikmati ritual ibadah dalam Rukun Islam sekalipun saya belum memiliki ahlak dan aqidah semulia Rosululloh SAW.
Setidaknya bisa menikmati ibadah-ibadah tersebut dan berusaha tidak melanggar aturan-aturan dasar sudah menjadi hal yang membahagiakan bagi saya selain hal tersebut menjadi pendorong untuk terus meningkatkan kualitas maupun kuantitasnya.
Sebagai seorang Muslim yang sudah merasakan dahsyatnya dampak yang diberikan oleh ritual ibadah dalam Rukun Islam terutama sholat, ada semacam kecanduan dalam diri untuk terus menggali seluruh potensi yang tersimpan di dalamnya.
Saya mulai belajar sholat secara khusyu’ sejak tahun 1993 lalu dari seorang Ustadz Zainal Arifin. Cara beliau mengajari sholat lumayan unik. Menurut beliau, sholat khusyu’ harus memiliki dampak kepada pendirinya hingga setelah selesai dan memulai sholat lagi.
Konsep-konsep penting yang beliau tekankan mengenai sholat adalah sebagai berikut:
Sholat harus dilakukan seolah-olah itu adalah ibadah terakhir yang kita lakukan di saat-saat terakhir kehidupan kita.
Sholat adalah sarana untuk mendeteksi dan merasukkan keberadaan Alloh SWT.
Sholat adalah sarana untuk mencuci otak dan kesadaran kita.
Sholat adalah tiang Dienul Islam.
Jadikan hari-hari kita untuk menunggu waktu sholat.
Jadi masihkah kita belum yakin pentingnya sholat? Ayo kita sama-sama belajar sholat yang benar dan khusyu’.
Sumber
*****
Ingin Sukses? Sholatlah!
Haji Zainal Arifin adalah salah satu sosok yang menjadi percontohan mengenai orang sukses versi saya.
Sebagai seorang pengusaha, setiap unit usahanya berkembang dan menjadi tumpuan menjemput rizki banyak orang. Produk-produknya pun banyak memberikan manfaat bagi banyak orang.
Sebagai seorang pendidik, banyak sekali murid-muridnya yang berhasil dan mengembangkan potensi dirinya masing-masing sebesar-besarnya.
Rumah tangganya pun terlihat mencerminkan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.
Saat saya tanya mengenai rahasia kesuksesan beliau, jawabannya sederhana sekali, “sholatlah sebelum kamu disholatkan..”
Sederhana tapi dengan kapasitas benak dan iman yang dangkal seperti saya tentunya jawaban tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut yang kira-kira bisa dicerna dengan baik.
“Sholat itu disebut tiang agama. Tidak mungkin disebut seperti itu jika tidak ada hikmah dan potensi luar biasa yang terkandung di dalamnya.”
“Bahkan perintah mendirikan sholat pun langsung disampaikan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW pada saat mi’roj.”
Iya ya, kalau direnungkan tidak mungkin Alloh SWT mewajibkan sholat jika seandainya hal tersebut tidak memberikan kebaikan yang melimpah-ruah kepada kita.
Sayangnya kita seringkali lupa dan silau dengan segala gegap-gempita formulasi kesuksesan yang sebenarnya sudah sejak ribuan tahun lalu dibukakan oleh Alloh SWT.
Kita sering lupa bahwa sesungguhnya setiap hari yang kita lakukan hanyalah menunggu waktu sholat.
Waktu dimana secara pribadi kita berdialog dengan Alloh SWT. Dialog yang tentunya banyak membuka rahasia-rahasia hidup karena selalu ada pencerahan akibat pengisian spiritual yang tidak pernah terhenti minimalnya selama lima kali sehari.
Dialog dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala rahasia dan ilmu. Dialog yang demikian intensif sehingga hasilnya kemudian selalu terbawa hingga selesainya dialog tersebut.
Saya jadi teringat tentang pengalaman saat mendapat cobaan yang menurut saya sangat berat beberapa waktu yang lalu.
Ibu saya meminta saya untuk memelihara sholat wajib dan mendirikan tahajjud di sepertiga malam terakhir. Di setiap sujud terakhir rangkaian sholat malam, saya disuruh memanjatkan doa kepada Alloh SWT.
Doa berisi ampunan, keikhlasan diri menerima cobaan dan petunjuk supaya dapat melewati cobaan tersebut dengan penuh kebaikan untuk semua menurut jalan-Nya.
Alhamdulillah, setelah hampir satu tahun saya membentur tembok kesulitan yang sudah buntu bahkan mustahil ditemukan pemecahannya, tiba-tiba di hari ketiga sholat tahajjud, Alloh SWT memberikan jalan untuk menyelesaikannya!
Pengalaman spiritual yang luar biasa bagi saya saat itu.
Sholat ternyata menjadi sumber aliran tenaga bagi setiap Muslim dalam menjalankan perintah dari Alloh SWT. Hanya saja seringkali sholat hanya kita jadikan ritual harian bahkan ditinggalkan karena kita tidak pernah menggali potensi dasyat di dalamnya.
Sholat seringkali hanyalah sekedar membaca mantera tanpa makna dan berolah-raga.
Tapi walaupun hanya seperti itu, sholat tetaplah memberikan manfaat bagi yang melakukannya karena dasyatnya potensi di dalamnya.
Jadi bisa dibayangkan jika sholat benar-benar didirikan dengan khusyu.
Sikap yang lahir dari kerinduan untuk selalu bertemu dan berdialog dengan Alloh SWT.
Sikap yang menjadi kunci tercapainya kesuksesan bagi kita, di dunia dan akhirat kelak. Amin.
*****
Sudahkah Kita Nikmati Ibadah Kita?
Pengalaman pribadi saya sejak dulu belajar melaksanakan ritual ibadah, selalu dikenalkan pada bagaimana kita harus memenuhi segala kewajiban berdasarkan hukum agama.
Sebagai seorang Muslim, saya dikenalkan kepada kewajiban-kewajiban minimal yang harus dipenuhi di dalam Rukum Islam. Plus tentu saja berbagai aturan dan himbauan lainnya yang seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri ini, apalagi nih kewajibannya..
Sehingga sangat wajar jika kemudian banyak orang kehilangan minatnya kepada agama yang melembaga dan memilih jalan spiritualnya sendiri dengan berbagai macam arah.
Bagi kelompok orang-orang seperti ini, selama mereka dapat merasakan adanya Sang Maha Disembah tidaklah menjadi masalah dengan harus mengikatkan diri dalam agama apapun.
Secara pribadi saya sendiri pernah mengalami kegelisahan spiritual yang kira-kira tergambarkan seperti itu.
Terlalu banyak aturan.. terlalu banyak kewajiban.. padahal toh kita masih mungkin bisa hidup berbahagia tanpa hal-hal itu. Lepas dari subyektifnya definisi bahagia.
Bayangkan saja.. sejak belajar beribadah yang selalu ditekankan dan diulang-ulang adalah ritual penghambaan tanpa esensi.
Segala sesuatu diukur dengan punish and reward.
Kalau kamu berlaku salah dan berdosa maka akan disiksa dan dimasukkan ke dalam neraka.
Tetapi jika kamu berlaku saleh dan beribadah maka akan diberi pahala plus diberi bonus masuk syurga.
Sesederhana itu.
Tanpa ada pengembangan kecerdasan menyeluruh atas diri kita. Seolah-olah Tuhan akan jadi lemah dan ditinggalkan jika kita tidak menghambakan diri kepada-Nya.
Kegelisahan saya mulai menurun sejak mulai belajar agama yang lebih menggali multi-kecerdasan sekitar 16 tahun yang lalu.
Saya mulai dibimbing untuk lebih “menikmati” ibadah yang dilakukan. Tidak hanya yang bersifat ritual tetapi ibadah-ibadah jasmaniah dan kejiwaan nyata yang diterapkan dalam praktik sehari-hari.
Ya.. menikmati ibadah hingga menjadi candu bagi diri kita.
Tidak sekedar menggerakkan fisik tapi juga menggerakkan mentalitas kita secara khidmat dengan terus-menerus merasakan kehadiran Sang Maha Esa dalam kehidupan ini.
Perjalanan spiritual yang ditempuh melalu serangkaian pelatihan yang memadukan aspek jasmani, ruhani dan kejiwaan kita.
Bayangkan saja jika sejak dulu belajar sholat atau bahkan melafalkan kalimat syahadat sudah dibimbing untuk merasakan kehadiran Sang Khalik dalam pusat kesadaran dan bawah sadar kita.
Menikmati setiap saat dalam perjalanan spiritual menggapai-Nya dan direngkuh oleh kasih sayang-Nya.
Bukan sekedar diperintahkan untuk menjalankan serangkaian kewajiban dan aturan.
Hingga akhirnya setiap kewajiban, aturan dan ajakan kebaikan itu menjadi sebuah candu yang memabukkan kita dalam cinta kasih-Nya.
Sumber
“Yang penting kan aqidah, ahlak, ngapain kita sholat, puasa, naik haji dan bayar zakat kalau masih juga nyolong, korupsi, nipu dsb,” cetus teman saya itu lagi.
Anda kaget mendengarnya?
Bagaimana jika ternyata pernyataan semacam itu dilontarkan oleh jutaan orang di seluruh dunia, terlebih jika orang-orang itu Muslim?
Sejujurnya saya merasa bersyukur karena masih bisa menikmati ritual ibadah dalam Rukun Islam sekalipun saya belum memiliki ahlak dan aqidah semulia Rosululloh SAW.
Setidaknya bisa menikmati ibadah-ibadah tersebut dan berusaha tidak melanggar aturan-aturan dasar sudah menjadi hal yang membahagiakan bagi saya selain hal tersebut menjadi pendorong untuk terus meningkatkan kualitas maupun kuantitasnya.
Sebagai seorang Muslim yang sudah merasakan dahsyatnya dampak yang diberikan oleh ritual ibadah dalam Rukun Islam terutama sholat, ada semacam kecanduan dalam diri untuk terus menggali seluruh potensi yang tersimpan di dalamnya.
Saya mulai belajar sholat secara khusyu’ sejak tahun 1993 lalu dari seorang Ustadz Zainal Arifin. Cara beliau mengajari sholat lumayan unik. Menurut beliau, sholat khusyu’ harus memiliki dampak kepada pendirinya hingga setelah selesai dan memulai sholat lagi.
Konsep-konsep penting yang beliau tekankan mengenai sholat adalah sebagai berikut:
Sholat harus dilakukan seolah-olah itu adalah ibadah terakhir yang kita lakukan di saat-saat terakhir kehidupan kita.
Jika kita diberitahu bahwa umur kita sudah habis oleh malaikat pencabut nyawa, tentunya kita akan berusaha melakukan hal-hal yang terbaik yang bisa dilakukan dalam upaya menunggu datangnya kematian tersebut.
Walaupun mungkin ada beberapa orang yang saat menerima vonis kematiannya sudah dekat, mereka malah semakin mejauh dari kebaikan dan melakukan kerusakan secara internal maupun ekseternal dimana-mana.
Untuk mendapatkan sholat maupun ibadah lainnya yang berkualitas, kita pasti akan berusaha sebaik-baiknya melaksanakannya.
Kita akan berharap semoga amal ibadah yang dilakukan tersebut dapat diterima oleh Alloh SWT dan diridhoi oleh-Nya.
Sholat adalah sarana untuk mendeteksi dan merasukkan keberadaan Alloh SWT.
Sholat adalah aktivitas yang menyatukan antara jiwa, raga dan ruh kita. Penyatuan tersebut haruslah difokuskan pada pendeteksian akan keberadaan wujud Alloh SWT.
Dalam hal ini konsep mengenai ihsan menjadi penting. Segenap kemampuan inderawi kita, baik yang berjalan di dalam sistem kesadaran maupun bawah sadar kita harus didayagunakan untuk mencapai hal tersebut.
Setidaknya pada saat kita mendirikan sholat, tanamkan secara terus-menerus dalam otak kita bahwa kita sedang berhadapan dengan Alloh SWT dan Dia sedang terus-menerus memperhatikan kita dengan segala ke-Maha Terpujiannya.
Hal inipun sebenarnya menjadi semacam pertanyaan mendasar tentang asumsi beberapa orang yang menganggap sholat adalah meditasi Islami.
Sholat bukanlah meditasi karena sholat adalah perangkat untuk berdialog dengan Alloh SWT. Sedangkan meditasi lebih menekankan pada aspek perenungan dan dialog dengan diri sendiri.
Di dalam meditasi tidak diajarkan bagaimana merasukkan keberadaan Alloh SWT dalam diri kita. Sedangkan sholat merupakan latihan intensif dan radikal dalam mewujudkan bersatunya Dzat Ilahiyah dalam diri kita dengan sumbernya langsung.
Sholat adalah sarana untuk mencuci otak dan kesadaran kita.
Salah satu syarat sahnya sholat adalah kesadaran penuh pelakunya. Tanpa kesadaran yang penuh maka sholat hanyalah aktivitas olah raga dan pembacaan kalimat tanpa makna.
Padahal seharusnya sholat adalah instalasi dan pengaturan kesadaran dan bawah sadar kita akan makna-makna aqidah dan hakikat yang sudah digariskan oleh Alloh SWT.
Dengan aktivitas yang berulang dan berkesinambungan, diharapkan pikiran dan sikap kita akan berubah secara bertahap sehingga terwujudkan di segala aspek kehidupan kita.
Sholat adalah tiang Dienul Islam.
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya bahwa dalam sholat ditanamkan dan dirasukkan dalam diri kita mengenai nilai-nilai aqidah dan hakikat sebagaimana yang digariskan oleh Alloh SWT.
Meninggalkan sholat berarti meninggalkan kesempatan bagi diri kita untuk terus-menerus menerima siraman nilai-nilai tersebut yang dampaknya adalah runtuhnya nilai-nilai tersebut dari sendi-sendi kehidupan kita.
Jadikan hari-hari kita untuk menunggu waktu sholat.
Tentunya kita masih ingat saat hati berdebar-debar menanti waktu akhir pekan untuk apel ke rumah kekasih kita. Apel adalah hal yang sangat kita nantikan kedatangannya karena kerinduan kita pada si dia (atau si mereka )
Jika kita menjadikan sholat sebagaimana apel, tentunya akan tertanamkan kerinduan yang mendalam dalam hati kita untuk segera bertemu sang kekasih, Alloh SWT.
Kerinduan yang mendalam tersebut akan menjadikan kita tidak menunda-nunda sholat dan menjadikannya prioritas pertama dalam aktivitas keseharian kita.
Jadi masihkah kita belum yakin pentingnya sholat? Ayo kita sama-sama belajar sholat yang benar dan khusyu’.
Sumber
*****
Ingin Sukses? Sholatlah!
Haji Zainal Arifin adalah salah satu sosok yang menjadi percontohan mengenai orang sukses versi saya.
Sebagai seorang pengusaha, setiap unit usahanya berkembang dan menjadi tumpuan menjemput rizki banyak orang. Produk-produknya pun banyak memberikan manfaat bagi banyak orang.
Sebagai seorang pendidik, banyak sekali murid-muridnya yang berhasil dan mengembangkan potensi dirinya masing-masing sebesar-besarnya.
Rumah tangganya pun terlihat mencerminkan keluarga yang sakinah mawaddah warohmah.
Saat saya tanya mengenai rahasia kesuksesan beliau, jawabannya sederhana sekali, “sholatlah sebelum kamu disholatkan..”
Sederhana tapi dengan kapasitas benak dan iman yang dangkal seperti saya tentunya jawaban tersebut memerlukan penjelasan lebih lanjut yang kira-kira bisa dicerna dengan baik.
“Sholat itu disebut tiang agama. Tidak mungkin disebut seperti itu jika tidak ada hikmah dan potensi luar biasa yang terkandung di dalamnya.”
“Bahkan perintah mendirikan sholat pun langsung disampaikan oleh Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW pada saat mi’roj.”
Iya ya, kalau direnungkan tidak mungkin Alloh SWT mewajibkan sholat jika seandainya hal tersebut tidak memberikan kebaikan yang melimpah-ruah kepada kita.
Sayangnya kita seringkali lupa dan silau dengan segala gegap-gempita formulasi kesuksesan yang sebenarnya sudah sejak ribuan tahun lalu dibukakan oleh Alloh SWT.
Kita sering lupa bahwa sesungguhnya setiap hari yang kita lakukan hanyalah menunggu waktu sholat.
Waktu dimana secara pribadi kita berdialog dengan Alloh SWT. Dialog yang tentunya banyak membuka rahasia-rahasia hidup karena selalu ada pencerahan akibat pengisian spiritual yang tidak pernah terhenti minimalnya selama lima kali sehari.
Dialog dengan Dzat yang Maha Mengetahui segala rahasia dan ilmu. Dialog yang demikian intensif sehingga hasilnya kemudian selalu terbawa hingga selesainya dialog tersebut.
Saya jadi teringat tentang pengalaman saat mendapat cobaan yang menurut saya sangat berat beberapa waktu yang lalu.
Ibu saya meminta saya untuk memelihara sholat wajib dan mendirikan tahajjud di sepertiga malam terakhir. Di setiap sujud terakhir rangkaian sholat malam, saya disuruh memanjatkan doa kepada Alloh SWT.
Doa berisi ampunan, keikhlasan diri menerima cobaan dan petunjuk supaya dapat melewati cobaan tersebut dengan penuh kebaikan untuk semua menurut jalan-Nya.
Alhamdulillah, setelah hampir satu tahun saya membentur tembok kesulitan yang sudah buntu bahkan mustahil ditemukan pemecahannya, tiba-tiba di hari ketiga sholat tahajjud, Alloh SWT memberikan jalan untuk menyelesaikannya!
Pengalaman spiritual yang luar biasa bagi saya saat itu.
Sholat ternyata menjadi sumber aliran tenaga bagi setiap Muslim dalam menjalankan perintah dari Alloh SWT. Hanya saja seringkali sholat hanya kita jadikan ritual harian bahkan ditinggalkan karena kita tidak pernah menggali potensi dasyat di dalamnya.
Sholat seringkali hanyalah sekedar membaca mantera tanpa makna dan berolah-raga.
Tapi walaupun hanya seperti itu, sholat tetaplah memberikan manfaat bagi yang melakukannya karena dasyatnya potensi di dalamnya.
Jadi bisa dibayangkan jika sholat benar-benar didirikan dengan khusyu.
Sikap yang lahir dari kerinduan untuk selalu bertemu dan berdialog dengan Alloh SWT.
Sikap yang menjadi kunci tercapainya kesuksesan bagi kita, di dunia dan akhirat kelak. Amin.
*****
Sudahkah Kita Nikmati Ibadah Kita?
Pengalaman pribadi saya sejak dulu belajar melaksanakan ritual ibadah, selalu dikenalkan pada bagaimana kita harus memenuhi segala kewajiban berdasarkan hukum agama.
Sebagai seorang Muslim, saya dikenalkan kepada kewajiban-kewajiban minimal yang harus dipenuhi di dalam Rukum Islam. Plus tentu saja berbagai aturan dan himbauan lainnya yang seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri ini, apalagi nih kewajibannya..
Sehingga sangat wajar jika kemudian banyak orang kehilangan minatnya kepada agama yang melembaga dan memilih jalan spiritualnya sendiri dengan berbagai macam arah.
Bagi kelompok orang-orang seperti ini, selama mereka dapat merasakan adanya Sang Maha Disembah tidaklah menjadi masalah dengan harus mengikatkan diri dalam agama apapun.
Secara pribadi saya sendiri pernah mengalami kegelisahan spiritual yang kira-kira tergambarkan seperti itu.
Terlalu banyak aturan.. terlalu banyak kewajiban.. padahal toh kita masih mungkin bisa hidup berbahagia tanpa hal-hal itu. Lepas dari subyektifnya definisi bahagia.
Bayangkan saja.. sejak belajar beribadah yang selalu ditekankan dan diulang-ulang adalah ritual penghambaan tanpa esensi.
Segala sesuatu diukur dengan punish and reward.
Kalau kamu berlaku salah dan berdosa maka akan disiksa dan dimasukkan ke dalam neraka.
Tetapi jika kamu berlaku saleh dan beribadah maka akan diberi pahala plus diberi bonus masuk syurga.
Sesederhana itu.
Tanpa ada pengembangan kecerdasan menyeluruh atas diri kita. Seolah-olah Tuhan akan jadi lemah dan ditinggalkan jika kita tidak menghambakan diri kepada-Nya.
Kegelisahan saya mulai menurun sejak mulai belajar agama yang lebih menggali multi-kecerdasan sekitar 16 tahun yang lalu.
Saya mulai dibimbing untuk lebih “menikmati” ibadah yang dilakukan. Tidak hanya yang bersifat ritual tetapi ibadah-ibadah jasmaniah dan kejiwaan nyata yang diterapkan dalam praktik sehari-hari.
Ya.. menikmati ibadah hingga menjadi candu bagi diri kita.
Tidak sekedar menggerakkan fisik tapi juga menggerakkan mentalitas kita secara khidmat dengan terus-menerus merasakan kehadiran Sang Maha Esa dalam kehidupan ini.
Perjalanan spiritual yang ditempuh melalu serangkaian pelatihan yang memadukan aspek jasmani, ruhani dan kejiwaan kita.
Bayangkan saja jika sejak dulu belajar sholat atau bahkan melafalkan kalimat syahadat sudah dibimbing untuk merasakan kehadiran Sang Khalik dalam pusat kesadaran dan bawah sadar kita.
Menikmati setiap saat dalam perjalanan spiritual menggapai-Nya dan direngkuh oleh kasih sayang-Nya.
Bukan sekedar diperintahkan untuk menjalankan serangkaian kewajiban dan aturan.
Hingga akhirnya setiap kewajiban, aturan dan ajakan kebaikan itu menjadi sebuah candu yang memabukkan kita dalam cinta kasih-Nya.
Sumber
Tags
Agama Islam